MERAUKE, berita80.com – Warinto Gultom, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Boven Digoel mengajukan praperadilan terhadap Kapolri cq Kapolda Papua cq Kapolres Boven Digoel atas prosedur penetapan tersangka dalam kasus tindak pidana akses ilegal dan manipulasi dokumen di Sistem Informasi Pemerintah Daerah (SIPD) Kabupaten Boven Digoel 22 Januari 2025 lalu.
Pemohon praperadilan, Warinto melalui kuasa hukumnya, Guntur Ohoiwutun meminta Pengadilan Negeri Merauke memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara atas tindakan semena-mena penyidik Polres Boven Digoel atas penetapan dan penahanan dirinya sebagai tersangka.
Perkara yang disangkakan kepada Warinto Gultom adalah tindak pidana Akses Ilegal dan Manipulasi Dokumen yang diatur pada pasal 35 atau Pasal 32 Ayat (1) UU RI nomor 1 Tahun 2004 tentang perubahan kedua atas UU RI Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik yang terjadi pada tanggal 22 bulan Januari tahun 2025 di Sistem Informasi Pemerintah Daerah (SIPD) RI Kabupaten Boven Digoel.
Kuasa Hukum Pemohon Praperadilan, Guntur Ohoiwutun, SH menyebutkan, ada tiga hal pokok yang dipersoalkan Pemohon, Warinto Gultom kepada Termohon, Kapolres Boven Digoel terkait dengan penggeledahan, penyitaan dan penetapan tersangka dalam kasus Ilegal Akses dan Manipulasi Dokumen.
“Kami mengajukan permohonan praperadilan karena menurut kami apa yang lakukan oleh pihak Polres Boven Digoel selaku Termohon adalah upaya paksa. Menurut kami tindakan yang lakukan Termohon adalah perbuatan yang sewenang-wenang, dan tindakan yang tidak sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” ungkap Guntur Ohoiwutun di Pengadilan Negeri Merauke, Jumat (07/3) 2025).
“Dengan perkembangan hukum yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), sebenarnya menjadi dasar sehingga kami mengajukan permohonan praperadilan terkait dengan permasalahan penetapan tersangka. Bukan karena klien kami tidak mau ditahan dan merasa keberatan. Kami berupaya untuk mengajukan hak praperadilan yang diajukan tersangka atas upaya paksa, penyidik,” lanjutnya.
Ia mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 tahun 2014 yang dikembangkan bahwa penetapan tersangka menjadi bagian dari wewenang praperadilan, sehingga harus diuji apakah penetapan itu telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yakni memenuhi syarat dua alat bukti yang cukup dengan telah diperiksa calon tersangka.
“Ada dua aspek yang harus kita uji yakni 2 alat bukti ditambah dengan pemeriksaan tersangka sebagai dasar untuk menguji obyektivitas dari penyidikan. Kalau terjadi kesewenang-wenangan karena hanya memeriksa satu saksi dan keterangan saksi belum cukup memenuhi syarat,“ ujarnya.
“Kita perlu menguji penentuan dua alat bukti sehingga benar-benar penegakkan hukum dilakukan. Ini juga menyangkut hak asasi manusia. Semua orang punya hak untuk mengajukan pembelaan diri dalam hal perlakuan seperti ini. Menurut penilaian kami seperti itu. Tapi kembali kepada hakim yang memutuskan,” tegas Guntur.
Di pihak lain, Kuasa Hukum Termohon yakni Polres Boven Digoel, AKP Wadah Saleh saat konfirmasi wartawan melalui telepon selulernya menyebut, pengajuan praperadilan yang dilakukan oleh Warinto Gultom selaku pemohon memang merupakan haknya sebagai tersangka yang diatur oleh perundang-undangan dan juga menjadi fungsi kontrol kepada penegak hukum.
“Ya, ini fungsi kontrol terhadap kita di institusi yang melakukan penyidikan. Itu haknya setiap warga negara. Dan juga untuk menguji prosedur penanganan perkara dari unsur formil apakah benar atau tidak, sesuai atau tidak dengan proses hukum beracara yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),” terang Wadah Saleh.
“Saat ini sidang praperadilan sudah melewati proses pembuktian dan sedang pada tahap kesimpulan. Ya, kita menunggu saja apa yang nanti akan diputuskan oleh hakim praperadilan. Kita tunggu sidang putusan hari Selasa nanti. Apa hasilnya, pada prinsipnya kita tetap menghormati dan taat pada keputusan hakim,” pungkasnya. (HR)